Perempuan Berkalung Al-Quran: Sejarah Perempuan Sejati*
Oleh: Moh. Fathurrozi el-Nawaf
Jika
ada semboyan mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan di tanah Hijaz, ditulis di
Turki dan dibaca di Mesir, mungkin benar adanya. Sebab secara realita, dari
rahim Mesirlah tumbuh subur ahli qira’at, penghafal al-Quran dan bahkan qari’
berkaliber internasional. Sebut saja Imam Muhammad al-Mutawali, musnid dunia,
sanad tertinggi pada masanya, Ahmad al-Zayyat, pemuka ahli Qira’at pada masanya
dan Ummu Saad, perempuan yang memiliki sanad tertinggi, perempuan zahidah berkalung
cahaya al-Quran. Nama terakhir inilah yang jarang dikenal oleh para penghafal
al-Qur’an. Padahal, secara kwalitas hafalan dan kredibilitasnya tidak jauh berbeda
dengan kaum laki-laki.
Sejarah
telah mencatat bahwa penghafal al-Quran tidak hanya di monopoli oleh kaum adam
saja. Seorang perempuan pun juga banyak yang hafal al-Qur’an. Misalnya saja,
Saidah Aisyah RA, Hafsah RA, Dll. Hanya saja mereka kalah tenar oleh kaum
laki-laki. Sebab kaum perempuan, kala itu, kurang memiliki peran sentral,
meskipun dalam hak-hak mereka terpenuhi dalam masalah pendidikan. Dalam periwayatan
al-Qur’an, kalangan perempuan terbilang cukup langka apalagi dalam hal lain. Padahal
pada saat itu al-Qur’an merupakan sentral ajaran, bacaan, sumber dan pondasi
agama. Oleh karena itu, di sini penulis akan mengupas secara tuntas untuk
memperkenalkan perjalanan hidup perempuan dhorirah pencetak generasi qur’ani. Perempuan ini, saat itu, terbilang cukup berani dan langka. Dibilang berani
sebab saat itu hampir tidak ada perempuan yang berani menghafal dan mempelajari
ilmu qira’at, yang dianggap “njelimet”. Dibilang langka sebab saat itu hampir tidak ada yang mempunyai hafalan yang kuat dan sanad qira’at yang tinggi.
Riwayat
Hidup Ummu Saad.
Nama
lengkapnya Ummu Sa’ad Muhammad Ali al-Najm. Dia lahir di Aleksandria, Mesir
pada tanggal 11 Juli 1925 M. Kota Aleksandria, kota eksotis dengan pemandangan
yang alami dengan semburan kuning emasnya matahari ketika pagi hari dan deburan
pantai yang indah di sore hari, adalah tempat bermain pada masa kecilnya. Sebenarnya,
dia berasal dari utara kota Kairo, yaitu kota Bandariyah, salah satu kota di
Manufiyah, Mesir.
Ummu
Saad merupakan satu-satunya perempuan –saat itu- yang memiliki sanad tertinggi di
dunia dalam bidang Ilmu Qira’at. Walaupun mata penglihatannya terganggu (buta),
namun beliau menjalani hidupnya dengan qana’ah demi berkhidmat kepada
al-Qur’an. Ia berkhidmah untuk al-Qur’an dan qira’atnya lebih dari tujuh puluh
tujuh tahun dan terbilang satu-satunya perempuan yang konsisten dalam bidang ilmu
Qira’at Asyrah.
Dia dilahirkan
dari keluarga yang kurang mampu. Belum genap satu tahun dari umurnya, beliau
tertimpa penyakit mata. Sebagai keluarga yang kurang mampu, keluarganya
menyadari bahwa jika anaknya tersebut dibawa ke dokter tentu akan membutuhkan
dana yang sangat besar, sehingga timbul inisiatif dari orang tuanya untuk
menyembuhkan penyakit mata anak kesayangannya itu memakai obat tradisonal,
yaitu menghiasi matanya dengan celak atau di olesi dengan minyak. Hal demikian adalah
kebiasaan yang dilakukan oleh ribuan keluarga yang kurang mampu pada saat itu
untuk mengobati anak-anak tercintanya yang memiliki penglihatan kurang baik.
Sebagaimana
adat yang berlaku dalam suatu kampung di Mesir, jika ada anaknya terkena
penyakit mata (buta), biasanya mereka menadzarkan anaknya untuk berkhidmat kepada
al-Qur’an, yaitu menghafal al-Qur’an. Begitu pula yang dilakukan oleh keluarganya,
menitipkan Ummu Saad kepada seorang guru untuk menghafal al-Qur’an.
Perjalanan
intelektual Ummu Saad.
Ketika
umurnya menginjak lima belas tahun, perempuan zahidah ini telah berhasil
menghatamkan al-Quran dengan sempurna di madrasah Hasan Subhi, Aleksandria
Mesir. Setelah menyelesaikan hafalan al-Qur’an, dia datang menemui Syaikhah Nafisah
binti Abu ‘Ala’, seorang pengajar al-Quran dan qira’atnya, untuk belajar Qira
at Asyrah. Namun sungguh mengejutkan, perempuan yang terbilang masih bau kencur
ini berani mencoba menyelami samudra Ilmu Qira’at, ilmu yang terbilang susah
karena banyaknya matan ( syair dan
nadzam kaidah ilmu qira’at) yang harus dihafal sebelum mengarungi dalamnya samudra
lautan ilmu itu. Yang lebih mengejutkan lagi, sang calon gurupun tidak
semerta-merta menerima beliau sebagai muridnya, ada syarat yang harus dipenuhi
sebelum beliau menjadi muridnya, yaitu berjanji untuk tidak menikah
selama-lamanya.
Dengan
azimah (keinginan) yang kuat, Ummu Sa’ad menerima syarat yang diajukan
oleh calon gurunya itu, syarat yang terkenal memilukan bagi kaum perempuan. Satu hal yang mendorong Ummu Saad menerima
syarat tersebut, yaitu karena Syaikhah Nafisah sendiri tidak pernah menikah
dengan seorang laki-laki manapun, (hanya “menikah” dengan al-Qur’ an) walaupun
banyak para pembesar, konglomerat dan priyayi pada masanya datang untuk meminangnya,
ia bersikeras menolaknya.
Setelah
umurnya genap duapuluh tiga tahun, perempuan yang berkalung cahaya al-Qur’an
ini telah mempu menyelesaikan Ilmu Qira’at, baik secara dirayatan wa
riwayatan dan resmi mendapatkan rekomendasi tertulis dari gurunya untuk menyebarkan
ilmunya berupa sanad al-Qur’an yang bersambung kepada Rasulallah. Dari pada
itu, jika dikalkulasi masa belajarnya tentang Qira’at, hanya membutuhkan waktu
delapan tahun. Dalam masa itu pula, secara otomatis beliau telah lanyah kitab
syair al-Syatibi, al-Durrah dan Syair Tahrirat al-Syatibi.
Sebagai
catatan: Nafisah binti ‘Ala’ sendiri memang
tercatat sebagai perempuan yang berprinsip kuat, meskipun dia seorang perempuan,
dia menolak menerima santri perempuan dengan alasan seorang perempuan akan
menjadi seorang istri. Sebab setiap istri akan disibukkan oleh pernak-pernik rumah
tangga, tenggelam dalam lautan problematika mahligai rumah tangga, sehingga mengenyampingkan
hafalan al-Qur’annya dan dengan demikian hafalannya akan terbengkalai. Hal
itulah yang menjadi kekwatirannya, sehingga dia enggan menerima santri
perempuan.
Pada
saat umurnya memasuki delapan puluh tahunan, Syaikhakh Nafisah binti ‘Ala’
kembali kepada pangkuan Tuhannya dalam keadaan perawan.
Aktifitas
Ummu Saad.
Al-Qur’an
dalam al-Qur’an adalah motto hidupnya. Dalam aktifitas kesehariannya, Ummu Saad
hanya disibukkan mengajarkan al-Qur’an dan ilmu Qira’at. Tidak kurang dari
ratusan murid datang belajar kepadanya, baik dari kaum perempuan, laki-laki,
para pengajar, baik setingkat SD hingga para dosen. Tak terkecuali para muhandis dan dokter-dokter pun ikut
serta belajar al-Qur’an dan ilmu qira’at kepadanya.
Secara
terjadwal, kegiatan beliau tertata rapi sebagai berikut:
Dari
pagi jam delapan pagi (8) sampai jam dua belas (12) khusus perempuan. Sementara,
dari jam dua belas (12) sampai sampai jam delapan (8) malam khusus laki-laki. Dalam
sehari, dia tidak pernah berhenti mengajar kecuali jika hendak menunaikan
ibadah shalat dan mencicipi makanan untuk mengganjal perutnya.
Melihat
ketatnya aktivitas Ummu Sa’ad ini, saya teringat dengan salah seorang guru saya
yang sehari-harinya hanya disibukkan mengajarkan al-Qur’an dan ilmu Qira’at.
Sejak adzan subuh dikumandangkan beliau sudah duduk masjid al-Khusain bersama
para penghafal al-Qur’an hingga sore hari. Terpancar cahaya keikhlasan, sikap tawadhu’
dan penuh dengan kekhusyu’an jika beliau menyimak para santri-santirnya. Tampak
dari sikapnya yang ramah dan penuh dengan nilai-nilai tarbawi dalam mengajarkan
al-Qur’an, seperti bapak mengajarkan kepada anak-anaknya. Tidak marah, telaten
bahkan menganggap santri-santrinya sebagai kawan diskusi di waktu senggang.
Semoga beliau diberikan kesejahteraan dan umur yang panjang. Semoga kita bisa
menirunya dikemudian hari. Amin.
Metode
Ummu Sa’ad.
Metode
dalam mengajarkan murid-muridnya, beliau membatasi setiap yang menyetor hafalan
tidak lebih dari satu jam dalam sehari. Di samping itu, beliau intens
mengoreksi bacaan setiap per-juz-nya hingga khatam dengan bacaan salah satu
Qira’at. Artinya, dia membebankan kepada seluruh santrinya untuk selalu
konsisten mengulang hafalannya dan telaten dalam menghafal.
Bagi
santri yang telah menyelesaikan hafalan al-Qur’annya akan diberikan kepadanya ijazah
sanad dan rekomendasi tertulis bahwa murid tersebut adalah: khadim al-Qur’an,
yang telah mengkhatamkan al-Qur’an dengan baik dan sempurna. Namun, tidak semua
murid mendapatkan ijazah sanad, hanya orang-orang yang mempunyai kredibilitas
dan hafalan yang baik yang mendapatkannya.
Sebagai
ungkapan rasa syukur kepada kepada Tuhannya, tahadduts bil ni’mah,
beliau bercerita dalam satu kesempatan: selama nam puluh tahun belajar,
mengajarkan dan mengulang hafalan al-Qur’an menjadikan saya tidak lupa
sedikitpun dari al-Qur’an. Saya tahu persis letak setiap ayat, surah, juz dan
bahkan ayat-ayat yang mutasyabihat (mirip) dengan ayat yang lainnya serta
tata cara membaca setiap riwayat dalam ilmu qira’at. Saya merasa bahwa lancarnya
hafalan al-Qur’an saya persis seperti hafal nama saya sendiri. Tidak terlintas
dalam khayalan saya untuk melupakannya (al-Qur’an), walau satu huruf-pun atau
salah. Saya tidak tahu apa-apa selain al-Qur’an dan Qira’atnya. Saya tidak
pernah belajar ilmu, atau mendengarkan pelajaran atau bahkan menghafal selain
al-Qur’an, Qira’at dan nadzam-nadzam yang berhubungan dengan al-Qur’an dan qira’at.
Demikian ini merupakan ungkapan dan curahan hatinya tentang hafalannya. Masya Allah,
sungguh kuat hafalannya, sehingga ia umpamakan hafalan al-Qur’annya seperti
menyebut namanya sendiri. Sungguh ini adalah pemberian yang paling mulya
dari-Nya.
Hal
paling menyenangkan dalam hidup beliau adalah ketika sang murid telah
mengkhatamkan al-Qur’an, atau biasa dikenal dengan Yaumul Khotmi, hari khataman, di mana
seorang murid mendapatkan ijazah sanad dan rekomendasi tertulis darinya.
Sebagai
bukti keberhasilannya dalam mengajarkan ilmunya adalah dengan lahirnya seorang
qari’ berkaliber internasional yaitu Dokter Ahmad Na’ina’, beliau adalah
seorang dokter sekaligus qari’ yang paling dikenal saat ini. Suara emasnya
selalu menghiasi speker di masjid-masjid dan acara-acara keagamaan di sebuah
tempat.
Hikmah Tersirat.
Catatan
penting dari perjalanan hidup perempuan zahidah di atas, yaitu: perempuan
adalah hamba Allah yang mempunyai kesempatan besar untuk berlomba-lomba menjadi
hamba-Nya yang terbaik.
Perempuan
tidak hanya dituntut berhias dalam kamar, bekerja seharian dalam dapur. Namun
perempuan punya kesempatan untuk menjadi seorang hafidzah yang mutqinah. Memiliki
peran yang sama dengan kaum laki-laki dalam masalah pendidikan.
Secara
naluri perempuan lebih lembut dalam mendidik anak, bagaiamana seorang perempuan
menjadikan anak-anaknya hafal al-Qur’an sementara ibunya yang punya peran
penting tidak hafal al-Quran?.
Jika
saja Ummu Saad yang tidak melihat bisa mencetak generasi terbaik pada masanya,
bagaimana dengan perempuan yang melek?
Seorang
Ummu Saad yang lahir dari keluarga yang tidak mampu saja berani menghafal
al-Qur’an bahkan pada tingkat yang lebih tinggi yaitu, ilmu qira’at, bagaimana
dengan perempuan yang dikaruniai oleh Allah SWT. harta berlimpah dengan
kesempatan yang baik pula?
*ditulis di Mesir, 2010
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Atas Komentarnya